Rabu, 12 Februari 2014

Aqidah Akhlak - Ridho

Ridha secara bahasa menerima dengan suka hati, secara istilah diartikan sikap menerima atas pemberian dan anugerah yang diberikan oleh Allah dengan di iringi sikap menerima ketentuan syariat Islam secara ikhlas dan penuh ketaatan, serta menjauhi dari perbuatan buruk(maksiyat), baik lahir ataupun bathin. Kata ridha berasal dari bahasa Arab yang makna harfiahnya mengandung pengertian senang, suka, rela, menerima dengan sepenuh hati, serta menyetujui secara penuh , sedang lawan katanya adalah benci atau tidak senang. Kata ridha ini lazim dihubungkan dengan eksistensi Tuhan dan manusia, seperti Allah ridha kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, sedangkan dengan manusia seperti seorang ibu ridha anaknya merantau untuk menuntut ilmu , ridha erat kaitannya dengan sikap dan pemahaman manusia atas karunia dan nikmat Allah. Dalam dunia tasawuf, kata ridha memiliki arti tersendiri yang masih berhubungan dengan sikap kepasrahan seseorang di hadapan kekasih-Nya. Sikap ini merupakan wujud dari rasa cinta pada Allah dengan menerima apa saja yang telah dikehendaki oleh-Nya tanpa ada paksaan dalam menjalaninya. Dengan kata lain, ridha lebih memfokuskan perhatian yang ditujukan kepada upaya mengembangkan emosi ridha dalam hati calon sufi kepada Tuhan. Maka janganlah kita berharap memperoleh ridha Tuhan, bila dalam hati kita sendiri tidak tumbuh dengan subur emosi ridha kepada-Nya. Di sini ditanamkan kesadaran bahwa ada tidaknya, atau besar kecilnya ridha Tuhan pada seseorang tergantung pada ada tidaknya atau besar kecilnya ridha hatinya kepada Tuhan. Ridha kepada Tuhan, menurut para sufi; mengandung makna yang luas, diantaranya: Tidak menentang pada qadha dan qadar Tuhan, menerimanya dengan senang hati, mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanyalah perasaan senang dan gembira, merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat, tidak meminta surga dari Tuhan dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka, tidak berusaha sebelum turunnya qadha dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya, bahkan perasaan senang bergelora di waktu cobaan atau musibah datang. Orang yang berhati ridha pada Allah memiliki sikap optimis, lapang dada, kosong hatinya dari dengki, selalu berprasangka baik, bahkan lebih dari itu; memandang baik, sempurna, penuh hikmah, semua yang terjadi semua sudah ada dalam rancangan, ketentuan, dan perbulatan Tuhan. Berbeda dengan orang-orang yang selalu membuat kerusakan di muka bumi ini, mereka selalu ridha apabila melakukan perbuatan yang Allah haramkan, dalam hatinya selalu merasa kurang apabila meninggalkan kebiasaan buruk yang selama ini mereka perbuat, bermakna merasa puas hati apabila aktivitas hidupnya bisa membuat risau, khawatir, dan selalu mengganggu terhadap sesamanya. Semuanya itu ia lakukan karena mengikut hawa nafsu yang tanpa ia sadari bahwa sebenarnya syaitan telah menjerat dirinya dalam kubangan dosa. Orang-orang yang seperti inilah dengan indahnya Allah telah menjelaskan dalam surat At-Taubah ayat 96: يَحْلِفُوْنَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِيْنَ “Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka, tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang berbuat fasik.” Orang-orang inilah yang selalu bersepakat dalam berbuat kemungkaran, ridha dalam melakukan maksiyat, dan kelak apabila sampai akhir hayatnya tidak sempat bertaubat serta minta ampun kepada-Nya, telah Allah sediakan neraka sebagai pelabuhan terakhir untuknya, dalam pertengahan ayat yang ke-7 dari surat Az-Zumar di sebutkan: وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ Artinya: “……….., dan Dia tidak me-ridhai kekafiran bagi hamba-Nya,………..” Pemahaman ayat diatas adalah, jikalau seseorang selalu berpuas hati akan perbuatan yang Allah telah haramkan, namun dalam hatinya tidak ada keinginan untuk merubah dengan memohon ampunan-Nya, maka yang akan menjadi tabungan baginya adalah semakin banyak perbuatan buruk yang akan ia sesali besok di akhirat atas segala segala tingkah laku buruknya sewaktu hidup di dunia. Dengan kata lain, menghadirkan hati dengan bersikap benci kepada semua perbuatan yang dapat membawa kepada ke-kufur-an adalah salah satu bentuk penolakan sebelum segalanya terlambat, inilah salah satu cara supaya kita terhindar dari semua perkara yang di larang oleh Allah, untuk kemudian kita suci-kan hati dengan menjalankan perintah dengan penuh keyakinan dan selalu mengingat-Nya, sehingga sampai kepada peringkat orang-orang yang meminta ampun kepada rabb-Nya dan menjadi bagian kepada orang-orang pilihan yang benar-benar telah di ampunkan atas segala kekhilafannya. Konsep ini sejalan dengan isyarat al-Quran surat Al-Baqarah ayat 222: إِنَّ اللهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ “………..,, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. Syekh Maulana Jalaluddin al-Rumi menggambarkan para sufi yang berhati ridha kepada Allah, antara lain sebagai berikut : “ Aku perkenalkan para wali, yang mulutnya tidaklah berkomat-kamit dengan lafadz do’a; mereka adalah orang-orang mulia yang tunduk dengan hati ridha. Mereka memandang haram permohonan untuk menolak qadha. Mereka melihat bahwa pada qadha dan qadar Tuhan itu ada rasa nikmat yang khas, dan memandang kufur upaya memohon kelepasan dari-Nya. Berprasangka baik telah membuka dan memenuhi hati mereka, sehingga tidaklah mereka memakai pakaian biru karena sedih. Apa saja yang datang kepada mereka, menggembirakan hati mereka; ia akan berubah menjadi api kehidupan, kendati ia yang datang itu api; racun yang berada di kerongkongan mereka, mereka pandang seperti gula; dan batu di jalanan seperti permata; sama bagi mereka yang baik dengan yang buruk. Semua sikap ini berkembang dari “husnuzzan”, prasangka baik mereka. Berdo’a bagi mereka suatu kekufuran, karena bila mereka melakukannya itu berarti mereka mengatakan: Ya Tuhan kami, rubahlah qadha ini sehingga menjauh dari kami, atau rubahlah qadha ini sehingga dapat membawa keuntungan untuk kami. Bagaimanakah jadinya dunia ini, bila ia harus berjalan menurut keinginan manusia, bukan menurut qadha dan qadar-Nya? Demikianlah antara lain sikap sufi yang hatinya dipenuhi ridha kepada Tuhan. Walaupun berdo’a di syariatkan oleh agama, mereka karena mencapai taraf kerohanian yang tinggi, tidak merasa pantas lagi meminta ini dan itu kepada Allah. 1. Ridha terhadap perintah dan larangan Allah Artinya ridha untuk mentaati Allah dan Rasulnya. Pada hakekatnya seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, dapat diartikan sebagai pernyataan ridha terhadap semua nilai dan syari’ah Islam. 2. Ridha terhadap taqdir Allah. Ada dua sikap utama bagi seseorang ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan yaitu ridha dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan, sedangkan sabar adalah keharusan dan kemestian yang perlu dilakukan oleh seorang muslim. Perbedaan antara sabar dan ridha adalah sabar merupakan perilaku menahan nafsu dan mengekangnya dari kebencian, sekalipun menyakitkan dan mengharap akan segera berlalunya musibah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima taqdir Allah swt. Dan menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya. Sebab didalam hatinya selalu tertanam sangkaan baik (Husnuzan) terhadap sang Khaliq bagi orang yang ridha ujian adalah pembangkit semangat untuk semakin dekat kepada Allah, dan semakin mengasyikkan dirinya untuk bermusyahadah kepada Allah. 3. Ridha terhadap perintah orang tua. Ridha terhadap perintah orang tua merupakan salah satu bentuk ketaatan kita kepada Allah swt. karena keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua, sebagaiman perintah Allah dalam Q.S. Luqman (31) ayat 14. Bahkan Rasulullah bersabda : “Keridhaan Allah tergantung keridhaan orang tua, dan murka Allah tergantung murka orang tua”. Begitulah tingginya nilai ridha orang tua dalam kehidupan kita, sehingga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah, mempersyaratkan adanya keridhaan orang tua. Ingatlah kisah Juraij, walaupun beliau ahli ibadah, ia mendapat murka Allah karena ibunya tersinggung ketika ia tidak menghiraukan panggilan ibunya. 4. Ridha terhadap peraturan dan undang-undang Negara Mentaati peraturan yang belaku merupakan bagian dari ajaran Islam dan merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah swt. karena dengan demikian akan menjamin keteraturan dan ketertiban sosial. sebagaimana firman Allah yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa:59. Ulil Amri artinya orang-orang yang diberi kewenangan, seperti ulama dan umara (Ulama dan pemerintah). Ulama dengan fatwa dan nasehatnya sedangkan umara dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Termasuk dalam ridha terhadap peraturan dan undang-undang negara adalah ridha terhadap peraturan sekolah, karena dengan sikap demikian, berarti membantu diri sendiri, orang tua, guru dan sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian mempersiapkan diri menjadi kader bangsa yang tangguh. c. Dalil tentang Ridho Artinya:”Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan RasulNya kepada mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).(QS. At-Taubah:59) d. Contoh Perilaku Ridho Δ Dalam suatu kisah Abu Darda’, pernah melayat pada sebuah keluarga, yang salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Keluarga itu ridha dan tabah serta memuji Allah swt. Maka Abu Darda’ berkata kepada mereka. “Engkau benar, sesungguhnya Allah swt. apabila memutuskan suatu perkara, maka dia senang jika taqdirnya itu diterima dengan rela atau ridha. Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf mengatakan, tidak akan tampak di akhirat derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha kepada Allah swt. dalam situasi apapun. Δ Dalam riwayat dikisahkan sebagai berikut ; pada suatu hari Ali bin Abi Thalib r.a. melihat Ady bin Hatim bermuram durja, maka Ali bertanya ; “Mengapa engkau tampak bersedih hati ?”. Ady menjawab ; “Bagaimana aku tidak bersedih hati, dua orang anakku terbunuh dan mataku tercongkel dalam pertempuran”. Ali terdiam haru, kemudian berkata, “Wahai Ady, barang siapa ridha terhadap taqdir Allah swt. maka taqdir itu tetap berlaku atasnya dan dia mendapatkan pahalaNya, dan barang siapa tidak ridha terhadap taqdirNya maka hal itupun tetap berlaku atasnya, dan terhapus amalnya”. Seperti dalam Hadith Qudsi: قَالَ اللهُ : مَنْ لَمْ يَرْضَى بِقَضَائِيْ وَلَمْ يَشْكُرْ بِنِعْمَائِيْ وَلَمْ يَصْبِرْ بِبَلاَئِيْ فَلْيَخْرُجْ تَحْتَ سَمَائِيْ وَلْيَطْلُبْ رَبًّا سِوَائِيْ Artinya: “Allah berfirman kepada rasul SAW: Barangsiapa yang tidak ridha atas segala hukum perintah, larangan, janji qadha dan qadar-Ku, dan tidak bersyukur atas segala nikmat-nikmat-Ku, serta tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadikan sebagai atapmu, dan carilah Tuhan lain selain diri-Ku (Allah)”. Dalam surat at-Taubah ayat 32: يُرِيْدُوْنَ أَنْ يُطْفِئُوْا نُوْرَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللهُ إِلاَّ أَنْ يُتِمَّ نُوْرَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan mereka), dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.”

0 komentar:

Posting Komentar

 
;